Ramadhan adalah bulan puasa (Syahrus Shiyam), bulan ibadah (Syahrul Ibadah), bulan Al-Quran (Syahrul Quran), bulan ampunan dan taubah (Syahrul Maghfirah wat Taubah) bulan kepedulian dan solidaritas (Syahrul Muwaasaah), bulan pembinaan (Syahrut Tarbiyah), bulan kesabaran (Syahru Shabr), bulan jihad (Syahrul Jihad) dan bulan kemenangan (Syahrun Nashr).
Dalam kitab, Ramadhan wa Bina’ al-Ummah, Dr. Raghib As-Shirjani menjelaskan bahwa Ramadhan adalah kunci kemenangan kaum muslimin pada Perang Badar. Ramadhan merupakan madrasah rabbani dalam menyiapkan generasi tangguh yang siap bertempur. Barisan muslim yang pantas berperang di Badar atau peperangan lainnya membutuhkan suatu pendidikan yang sangat khusus. Dan Ramadhanlah di antara institusi yang dapat melaksanakan tugas ini.
Namun, kemenangan nyata itu telah berlalu, kini saatnya merah kemenangan yang lain. Usai memenangkan perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, bahwa masih ada perang yang lebih besar yang harus dimenangkan oleh umat muslim, yaitu perang melawan diri sendiri dan mengendalikan hawa nafsu. Perang itulah yang menjadi jihad sesungguhnya. Dengan meminjam semangat kemenangan tadi, umat muslim diajak oleh Allah untuk memenangkan perang melawan hawa nafsu saat ini. Dalam perang melawan hawa nafsu tersebut, umat Islam, khususnya para muslimah dapat belajar melalui potret Ummu Aiman.
Wanita yang mulia tersebut memiliki nama lengkap Barkah bintu Tsa’labah bin ‘Amr bin Hishn bin Malik bin Salamah bin ‘Amr bin an-Nu’man al-Habasyiyah. Namun dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Aiman. Semula, Ummu Aiman adalah seorang budak milik Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di kemudian hari, setelah Abdullah bin Abdil Muththalib meninggal, Ummu Aiman diwarisi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah yang mengasuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak kecil.
Ummu Aiman termasuk golongan pertama orang yang masuk Islam. Ia bernasib seperti sahabat yang lainnya yang memeluk Islam yaitu mendapatkan siksa serta hinaan dari kaum kafir Quraisy. Ketika kaum musyrikin semakin keras dalam menyiksa dirinya beserta orang-orang yang masuk Islam bersamanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka untuk hijrah ke negeri Habasyah. Dengan demikian, Ummu Aiman merupakan salah seorang wanita yang hijrah untuk menyelamatkan agamanya dari kezaliman dan penyiksaan kaum musyrikin.
Ketika kembali ke Makkah al-Mukarramah, Ummu Aiman tidak lagi menghiraukan dirinya dan bersabar dalam menghadapi cacian, ancaman, dan penyiksaan. Pada akhirnya, datanglah pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ummu Aiman hijrah ke Madinah al-Munawwarah bersama orang-orang yang hijrah bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada saat hijrah ke Madinah al-Munawwarah itu, Ummu Aiman berpuasa, bangun malam, dan hijrah dengan berjalan kaki. Ia tidak memiliki perbekalan makanan ataupun minuman sedikit pun. Suasana padang pasir yang sepi dan cuaca yang terik membuat Ummu Aiman sangat kehauasan. Bahkan dirinya hampir meninggal. Tiba saat berbuka, tidak ada bekal air yang diminum untuk melepaskan rasa dahaganya. Tentu keadaan ini membuat kondisi tubuh Ummu Aiman semakin terpuruk.
Di tengah lunglainya tubuh dan kehausan yang amat sangat, tiba-tiba ada keajaiban datang. Allah Subhanahu wa Ta’ala. memberikan Ummu Aiman sebuah karamah. Tiba-tiba didapatinya setimba air terulur dari langit dengan tali timba yang berwarna putih. Ummu Aiman pun meminumnya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan Ummu Aiman berkata, “Sesudah minum air itu, aku tidak merasakan haus lagi. Meskipun aku berpuasa di tengah hari yang biasanya aku merasa haus, kini aku tidak merasakan haus setelah minum air itu. Sejak saat itu, jika aku berpuasa pada hari yang sangat panas, aku tidak pernah merasakan haus.” Kemudian Ummu Aiman menuturkan, “Sejak itu, aku berpuasa di siang yang panas dan berjalan di bawah terik matahari agar aku merasa haus, namun aku tidak pernah merasakan dahaga.”
Dari kisah Ummu Aiman tersebut, dapat terlihat bahwa perempuan mulia itu telah mampu meraih kemenangan jiwa berkat keteguhan imannya di jalan hirah yang penuh dengan ujian. Di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta’ala. berfirman,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)
Bertolak dari ayat di atas, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid mengungkapkan bahwa salah satu syarat kemenangan yang digariskan dalam Al-Qur’an adalah iman dan amal shalih. Dua hal ini merupakan penunjang utama untuk menjemput kemenangan. Di awal ayat QS. An-Nur ayat 55 di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala. menyebut, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih.”
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam As-Syaukani menjelaskan, “Ini merupakan janji dari Allah kepada siapa saja yang beriman kepada Allah dan senantiasa beramal shalih. Yaitu diberikan kekuasaan di muka bumi ini sebagaimana Allah pernah memberikannya kepada umat sebelum mereka. Dan janji ini bersifat umum meliputi setiap umat.” (Fathul Qadir, 4/1024)
Dengan keteguhan iman yang dimiliki Ummu Aiman akhirnya mampu melahirkan sebuah keyakinan kuat akan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Iman tersebut pun kemudian termanifestasikan dalam bentuk kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian. Ummu Aiman pun meyadari bahwa hakikatnya setiap orang beriman pasti akan diuji, baik dengan hal yang tidak menyenangkan maupun hal yang menyenangkan.
Di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta’ala. berfirman,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al Ankabut: 2-3)
Setelah menyadari hakikat sebagai seorang mukmin, Ummu Aiman pun memilih bersabar hingga akhir perjalanannya yang penuh dengan perjuangan. Hal tersebut disebabkan oleh iman yang telah melekat dalam dadanya sehingga ia begitu yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala. akan mengganjarnya dengan sesuatu yang lebih baik.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah berfirman, “Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan dua perkara yang dicintainya, kemudian ia bersabar, niscaya Aku menggantikan keduanya itu dengan surga.” (HR. Bukhari no. 5653).
Melalui kisah perjalanan hijrah Ummu Aiman yang sarat dengan lelah, hendaknya setiap muslimah mampu mengambil hikmah serta lebih tergugah untuk menyiapkan diri menjemput Ramadhan dengan iman yang merekah. tersebut, Bersama keyakinan yang kuat akan janji serta pengawasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, suatu ibadah yang awalnya terasa berat akan menjadi lebih mudah dilewati dengan seizin-Nya. Tak hanya itu, kesabaran sebagai salah satu bentuk manifestasi dari keimanan akan mampu membantu umat islam, termasuk para muslimah dalam menjemput kemenangan di akhir bulan Ramadhan.